Saya tidak tau pasti waktu itu umur berapa, seingat saya waktu itu saya masih di sunggi oleh ayah saya. Di Sunggi itu seperti gendong tetapi duduk di pundak dan memegangi rambut kepala, karena saya masih kecil mungkin belum masuk SD pada waktu itu.
Dahulu di desa masih sedikit orang yang mempunyai televisi, dan itu wajar saja apa lagi daerah pelosok pegunungan, rumahpun masih jarang.
Ada istilah layar tancep, kalu sekarang kita menyebutnya proyektor, dulu semacam itu menjadi tontonan ketika ada orang hajatan atau acara tertentu.
Malam itu saya tidak ingat pasti menonton layar tancep dimana, dan yang saya masih ingat sampai sekarang yaitu sepulang dari menonton layar tancep.
Malam yang begitu gelap mungkin sekitar jam 22 atau lebih, karena di desa rumah masih jarang dan kebetulan rumah orang tua ada di lereng bukit yang tetangganya saja berjarak kisaran sepulu meter lebih. Itu pun hanya satu rumah terdekat jarak dari rumah ke rumah simbah mungkin sekitar tigapuluh meter yang di halangi oleh pepohonan cengkeh dan singkong.
Kami menonton layar tancep bertiga yaitu ayah,ibu dan saya namun sekali lagi saya tidak ingat menontonnya dimana namun saya masih ingat jelas ketika perjalanan pulang.
Di samping rumah sebelah kanan ada jalan bebatuan tidak setapak tapi agak lebar, dan di sebelah jalan kalau ke arah rumah itu sebelah kiri jalan ada penembahan (semacam kuburan yang dikeramatkan).
Orang-orang desa menyebutnya penembahan Serut yang mana ada pohon beringin putih tumbuh pas di tengah kuburan tersebut.
Jalanan memang gelap tapi ayah saya punya senter dengan cahaya cerah menggunakan bateray ABC, senter logam yang ditutupnya terdapat gambar macan dengan lampu pircesnya menerangi disetiap langkah pulang menuju rumah.
Tinggal beberapa langkah lagi sampai rumah, saya yang sudah mengantuk dan masih tetap duduk di pundak ayah dengan memegangi rambutnya agar tidak jatuh tidak merasa takut sedikitpun waktu itu.
Ibu di depan jalan duluan dan sampai rumah duluan, saya dan ayah belakangan mungkin karena ayah sedikit capek menyunggi anaknya yang semakin besar semakin berat.
Senter selalu menerangi perjalanan, saya selalu fokus melihat kemana arah cahaya senter dipancarkan, karena sama sekali tidak ada penerangan jalan.
Tidak tau kenapa dan saya juga lupa percakapan apa yang terjadi namun ayah saya menyorotkan lampu senternya ke arah Penembahan Serut dan sangat jelas saya melihat seekor kijang berdiri di tengah kuburan, begitu juga ayah saya pun melihatnya.
Sesekali ayah menyorotkan senter ke arah jalan dan kembali ke Serut dan masih berdiri seekor kijang cokelat dengan tanduk yang panjang bercabang.
Saya tidak takut waktu itu karena saya rasa itu hewan yang lumrah walaupun saya belum melihat sebelumnya tapi itu benar benar kijang.
Kami berdua berhenti sejenak, saya tetap masih di punggung dan ibu sudah sampai rumah, karena memang dekat jarak antara kami, rumah dan Penembahan Serut.
Berhentinya ayah bukan karena takut tapi terus menyorotkan lampu senter ke arah kijang tersebut, dan beberapa detik saja kijang itu mengeluarkan asap dari kepala walaupun kijang itu diam tidak menoleh namun asap hitam mengepul dari kepalanya.
Keluarnya asap hitam dari kepala Kijang ternyata membuat kijang itu hilang perlahan namun asap hitam tidak menyebar seperti asap biasa, Ternyata asap hitam itu berubah menjadi sosok orang tinggi besar yang tidak menempel ke kuburan sedikitpun.
Orang itu benar-benar terbang dan bertambah tinggi namun tidak terlihat wajahnya karena cahaya senter seperti terserap.
Tidak perlu waktu lama kemudian sosok orang yang hitam hilang tanpa jejak sedikitpun dan barulah saya merasa ketakutan namun tidak menangis sedikitpun.
Saya salut kepada ayah yang berani terhadap hal yang seperti itu, kemudian kita melanjutkan perjalanan sampai kerumah, kemungkinan waktu itu saya langsung dibawa kekamar dan tidur.
Memang tidak logis cerita singkat diatas ini, namun ini adalah real story saya dimasa lalu.
Dimana saya adalah sebagai anak pertama dari kedua orang tua yang waktu itu masih akur menurut saya.
Masih damai dan saya masih merasa nyaman mempunyai dan di urus oleh kedua orang tua tercinta.
Cerita ini saya tulis untuk mengenang masa lalu agar nanti dimasa depan saya bisa mengingatnya lagi dengan membacanya.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah Dengan Sopan Dan Bermanfaat